Belajar menjadi perempuan dan ibu yang sederhana tetapi bermanfaat bagi orang-orang di sekeliling dengan tulisan.
Selasa, 15 Desember 2020
Berpenghasilan dari Internet, Salah Satu Cara Survive di Masa Pandemi
Senin, 23 November 2020
Kebiasaan Sehat Keluarga di Era New Normal
Minggu, 25 Oktober 2020
6 Tips Mengajarkan Anak Berdoa
Sabtu, 12 September 2020
Ini Waktu yang Tepat Belajar Membaca
Para
ahli menyebutkan bahwa waktu yang tepat untuk belajar membaca adalah usia 6
sampai 7 tahun. Namun, hal tersebut sering kali dirasakan orang tua tidak pas.
Mengapa?
Di
usia sekitar 6 sampai 7 tahun anak sudah masuk usia sekolah dasar. Temans
pernah melihat buku Tematik dan pelajaran lainnya? Rasanya sulit sekali bagi
anak yang belum dapat membaca untuk mengikutinya.
Oleh
karena itu, beberapa orang tua dan guru pra sekolah (taman kanak-kanak)
mengajarkan anak membaca sejak usia dini. Bahkan, ada yang mengajarkannya
secara formal dism-diam di TK dengan catatan orang tua tidak boleh
mengatakannya jika Diknas sedang sidak. He he.. rumit juga ya?
Bagaimana
dengan sikap orang tua dengan sekolah yang demikian? Sebagian besar tidak
masalah. Mereka justru merasa sangat terbantu daripada mengajarkan anak sendiri
membaca di rumah.
Anak
yang dapat membaca di usia dini, diikuti dengan kemampuan menulis dan berhitung
menjadi kebanggaan orang tua. Bahkan, ini sering kali dijadikan alasan untuk
memasukkan anak sekolah dasar di usia yang belum seharusnya, sekitar 5-6 tahun.
Sementara
itu, tanpa disadari masalah baru sering muncul. Anak tidak memahami apa yang
dibacanya. Ketika membaca dan menjawab pertanyaan yang sering ada di bagian
bawahnya, anak tidak mampu.
Ketidakmampuan yang terus bertambah seiring dengan kenaikan tingkat sekolah anak. Makin tinggi sekolah, tentu saja kemampuan pemahaman dituntut lebih besar. Jangankan mengerjakan soal cerita matematika, soal pengetahuan sosial yang jawabannya secara tersirat ada dalam teks, banyak yang tidak dapat melakukannya.
Yuk, Ajak Anak Mencintai Buku!
Sebelum
mulai dengan pembahasan belajar membaca, bagi saya yang penting untuk
ditanamkan adalah mencintai bacaan atau mencintai buku.
Bukan
hanya karena slogan “buku adalah jendela dunia” tetapi karena dari sini semua
bermula.
Makin
tinggi tingkat sekolah anak, bacaan yang dibaca akan panjang. Jika tidak cinta
buku, berat bagi mereka untuk membaca, apalagi memahami isinya.
Anak
yang sudah mencintai buku akan lebih mudah dalam menjalani proses akademis.
Temans pasti tahu bukan, di tingkat perguruan tinggi mahasiswa harus membaca
diktat dan referensi yang sangat tebal?
Nah,
jika sudah gemar, suka, dan cinta buku manfaat lain akan mudah didapat. Anak
akan lebih luas wawasannya, lebih semangat belajar, lebih terbuka pikirannya,
dan seterusnya.
Tips Mengajak Anak Belajar Membaca
Setelah
membahas sedikit tentang pentingnya mengajak anak mencintai buku, saya mau
membahas sedikit tentang tips mengajar anak membaca.
Langkah-langkah
yang sebenarnya sebagian besar mungkin sudah Temans terapkan di rumah untuk si
kecil. Ada juga di antaranya yang diterapkan pada pendidikan formal dan
informal anak usia dini.
Bedanya
di sini saya sedikit menggabungkan antara belajar , memahami, dan mengajak anak
agar suka membaca. Tips di sini merupakan gabungan antara hasil membaca
berbagai referensi dari buku parenting, internet, pengalaman pribadi, dan
pengalaman Temans yang saya ketahui.
Mau
tahu apa saja? Yuk, simak berikut ini!
1. Memberi Teladan
Sebenarnya
inti dari semua tips dan langkah mengajarkan anak membaca ini adalah memotivasi
mereka. Nantinya diharapkan mereka tidak terpaksa belajar membaca.
Yang
pertama, tentu saja memberi teladan.
Seperti
yang Temans ketahui bahwa anak adalah peniru ulung. Apa saja yang dilakukan
orang di sekitarnya atau ditonton dapat dengan mudah ditiru.
Jadi,
tidak mudah mengajak dan memotivasi anak membaca jika lingkungan di rumah tidak
melakukannya.
Anak
tidak dapat diminta belajar jika orang tua tidak pernah melakukannya, minimal
di waktu atau jam tertentu.
Lebih
bagus lagi, jika Temans meletakkan rak buku anak di tempat yang mudah
dijangkau.
2. Membacakan Cerita
Pada
dasarnya, di usia setahun lebih sedikit keingintahuan anak sudah besar. Mereka
selalu menunjuk dan bertanya apa saja yang tidak diketahuinya.
Manfaatkan momen anak di usia tersebut! Bacakan cerita atau buku kepada anak sambil
menunjukkan gambarnya.
Usahakan
pula membaca dengan intonasi yang tepat sehingga anak tidak bosan.
Selain
menumbuhkan minat anak kepada buku, kegiatan membacakan cerita akan mempererat
hubungan anak dan orang tua.
Tanda
mereka menyukai kegiatan ini adalah meminta Temans membacakan buku yang sama
secara berulang-ulang!
Jangan
bosan ya! Nanti ada saatnya mereka akan meminta buku lain.
3.
Mengajak Anak Membaca Gambar
Tips
ketiga adalah mengajak anak untuk membaca gambar.
Di
tahapan ini, Temans sebenarnya sudah mulai mengajak mereka mengenal huruf dan
lambangnya secara perlahan. Selain itu, membaca gambar berarti mengasah logika
anak tentang segala sesuatu yang dilihat dan dibaca.
Caranya,
ketika Temans membacakan cerita tunjukkanlah gambar pada buku yang
mengilustrasikannya.
Perlahan,
ajak mereka untuk melihat hal-hal yang berada di sekeliling gambar, seperti
warna, bentuk, dan lain-lain.
Di
tahap akhir, ajak anak bercerita sendiri tentang gambar yang di ceritanya.
Kegiatan ini dapat dimulai dengan menceritakan kembali buku yang sudah pernah
dibacakan. Setelah itu, ajak mereka membaca gambar dari buku yang belum pernah
dibaca.
4.
Mengenal Lambang
Pada
tahapan mengenal lambang, anak sebaiknya sudah termotivasi untuk lebih banyak
membaca buku.
Yakinkan
pada mereka bahwa jika sudah dapat membaca sendiri, akan lebih banyak lagi buku
yang dapat dibaca. Anak juga dapat membaca pesan sendiri dari ayah, misalnya.
Jika Temans sudah melaksanakan tahapan membaca gambar, pelajaran mengenal lambang
atau membaca sesungguhnya akan terasa lebih mudah.
Ingatlah,
untuk tidak memaksa anak memasuki tahapan ini!
Anak
yang tidak mempunyai masalah dengan tumbuh kembang, pasti dapat membaca. Yang
terpenting justru, sudahkah anak memahami apa yang dibacanya?
Temans
dapat membacakan kalimat, “Sepatu Andi berwarna putih.”
Jika
anak dapat menjawab pertanyaan “sepatu siapa yang berwarna putih” atau “Apa
warna sepatu Andi?” itu pertanda bagus. Kemampuan membacanya akan meningkat seiring
dengan waktu. Mereka juga akan langsung memahami isi bacaan.
5.
Membaca Perlahan dan Mengingat
Di
tahapan awal, ajak anak membaca perlahan sambil mengingatnya. Kemudian mereka
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana terkait dengan kalimat yang
dibaca, seperti contoh sebelumnya.
Awalnya
mereka dapat diberi buku yang lebih banyak gambar daripada tulisannya.
Perlahan, jika Temans menilai kemampuan anak sudah mulai meningkat, bacaan
dapat ditingkatkan pula jenisnya.
Mudah
bukan mengajak anak belajar membaca dan mencintai buku? Tidak ada waktu yang
tepat sekali untuk mereka belajar. Lingkungan dapat menciptakan sendiri situasi
yang kondusif sehingga anak suka belajar membaca. Yang penting semua mulai dari
diri sendiri dulu.
Saya
juga sedang memulainya nih! Yuk, bersama-sama menciptakan keluarga yang
mencintai buku.
Selasa, 07 Juli 2020
Langkah Mengajarkan Anak Matematika Sejak Dini
Orang tua dan pendidik sering kali mengeluhkan bahwa anak sulit sekali memahami matematika. Sementara, bagi anak sendiri pelajaran ini sangat sulit. Bahkan, ada yang kemudian sangat membenci alias anti terhadap matematika. Padahal, pelajaran ini tidak dapat ditolak keberadaaannya. Hampir semua jurusan sekolah hingga perguruan tinggi ada materi berhitung dan sejenisnya.
Cara Mengajarkan Anak Matematika Sejak
Dini
Seharusnya, matematika dan berhitung memang diperkenalkan sejak dini sebagai pelajaran yang menyenangkan. Orang tua dan guru tidak hanya berharap anak pintar matematika di usia sekolah dsar. Di rumah atau di sekolah anak usia dini atau di taman kanak-kanak, konsepnya dapat diajarkan dengan cara-cara berikut.
1. Menggunakan Dramatisasi
Dramatisasi dilakukan dengan gerakan. Sebagai contoh, anak diminta melompat tiga kali secara bersama-sama. Lompatan tersebut dapat diulang-ulang dengan hitungan yang berbeda-beda.
2. Menggunakan Anggota Tubuh
Berhitung menggunakan anggota tubuh sudah diketahui sejak lama. Anak diajarkan mengetahui bahwa jumlah mata, telinga, dan tangan ada dua.
Di tingkat yang lebih tinggi anak sudah mulai dapat menghitung seluruh jari tangan mereka.
3. Menggunakan Mainan Anak
Ini merupakan cara yang paling disukai
anak. Ajaklah mereka menyusun balok, menderetkan mobilan, dan meletakkan
seluruh boneka yang dimiliki.
Berhitung menggunakan mainan anak dapat sekaligus mengajarkan anak konsep bentuk, lebih besar, lebih banya, hingga penumlahan dan pengurangan sederhana.
4. Menggunakan Buku Cerita
Sumber gambar: cintabuku.id
Anak Anda suka buku cerita? Ini juga
merupakan cara yang bagus untuk mengajarkan mereka berhitung sekaligus membaca
gambar. Hitunglah sesuatu yang ada di dalam gambar, seperti buah di atas pohon,
buah yang jatuh, orang di dalam dan di luar rumah, dan lain-lain.
Langkah Matematika Awal untuk Anak
Setelah mengetahui cara mengajarkan anak
matematika pada anak sejak dini, guru dan orang tua juga harus mengetahui
konsep matematika awal. Ini diajarkan sebelum anak belajar operasi hitung,
seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Konsep tersebut, yaitu:
- Berhitung ; anak dapat menyebutkan bilai satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga dua puluh secara berurutan.
- Membilang; anak dapat berhitung dengan menunjukkan bendanta. Biasanya di tahap ini anak sering kali melakukan kesalahan, seperti berhitung lebih cepat dari benda yang ditunjuk atau sebaliknya.
- Mengenal beragam bentuk
- Mengenal angka
- Memahami pengelompokkan benda: sa besar, sana tempatnya, dan lain-lain.
- Memahami konsep lebih besar, lebih, sedikit, dan sama banyak.
- Mengenal simbol matematika
Setelah ketujuh konsep di atas dipahami,
barulah anak belajar penjumlahan dan pengurangan secara utuh. Jangan lupa, konsep operasi bilangan tersebut harus dipahami benar jika Temans ingin anak menyelesaikan soal cerita.
Ingat pula bahwa matematika sama dengan pelajaran lain. Tidak dihafal! Matematika merupakan pelajaran yang menggabungkan pemahaman konsep dan kemampuan berhitung. Anak akan berhasil di sini jika menyukai dan banyak berlatih.
Senin, 15 Juni 2020
Ketika Anak Mogok Sekolah
Kisah 1
Tetangga
depan rumah saya, mempunyai 3 orang puteri. Sementara saat itu, saya baru
mempunyai sepasang anak yang masih batita.
Puteri
kedua mereka antusias sekali karena akan bersekolah TK. Setiap bermain di depan
rumah dia selalu bercerita tentang hal tersebut.
Antusiasme
anak berlangsung hingga minggu pertama sekolah. Setelah itu, entah kenapa
setiap mobil antar jemputnya datang dia akan menangis keras. Mama, begitu
sebutan anak kepada ibunya, marah besar.
Hal
tersebut berlangsung hingga sekitar satu semester.
Bayangan
drama menangis di depan rumah dan amukan orang tua terus melekat diingatan. Itu
pertama kali saya melihat anak meraung dan menangis, ditambah teriakan marah
ibunya. Rasa iba sering kali memnghinggapi tetapi tidak mungkin untuk membantu.
Lebih dari sepuluh tahun lalu datang membantu dan menghibur anak tetangga yang
sedang mengamuk dan dimarahi ibunya, sama dengan menyampuri urusan orang lain.
Kisah 2
Saya
sudah mengajar Taman Kanak-Kanak selama lebih dari 5 tahun. Siswa yang mengamuk
tidak mau masuk kelas dan ditinggal ibunya, alhamdulillah dapat diatasi dengan
baik.
Bagaimana
kalau itu yang tidak mau masuk kelas adalah anak saya?
Anak
kelima saya, namanya Hilman, menangis keras ketika masuk TK. Dia memang sengaja
tidak disekolahkan di tempat saya mengajar dengan alasan agar lebih mandiri.
Hari
pertama dia lalui dengan baik. Namun, keesokan harinya dia tidak mau sekolah
lagi. Di rumah dia tidak mengamuk. Hanya saja, bangun tidur tiba-tiba merasa
sakit perut dan pusing. Setelah itu, dia bilang ingin dititipkan di rumah nenek
saja.
Saya
langsung menyadari bahwa ini berhubungan dengan aksi menangisnya di hari
kemarin. Akhirnya, selama dua hari berturut-turut saya antar ke sekolah dan
menunggunya di gerbang seperti teman-temannya. Setelah itu, dia mau masuk
sekolah tetapi dengan muka memelas.
Ketidaksukaannya
pergi sekolah baru menghilang setelah satu bulan. Itu terjadi ketika sekolah
akan menyelenggarakan banyak lomba menyambut hari kemerdekaan RI. Diumumkan
bahwa setiap anak boleh ikut lomba asal sudah tidak menangis ketika sekolah dan
tidak ditunggu ibunya.
Wah,
Hilman yang memang mempunyai daya saing tinggi langsung berubah total. Dia
bahkan memenangkan lomba busana daerah untuk tingkat kelompok A.
Ternyata,
cerita tentang menangis ketika masuk sekolah baru tidak berhenti sampai di
situ. Kejadian berulang ketika masuk SD.
Saya
saat itu baru beberapa hari melahirkan adiknya. Jadi, dua hari pertama sekolah
Hilman datang diantar abinya dan setelah itu ada ojek yang mengantar dan
menjemput. Semua berjalan lancar sampai libur Ramadhan, dua minggu setelah awal
tahun ajaran baru.
Masalah
timbul ketika liburan usai. Kali ini Hilman bahkan mengamuk di sekolah sambil
berpegangan pintu gerbang karena tidak mau masuk kelas. Wali kelas sampai menanyakan
usianya karena dianggap masih di bawah kriteria, padahal tidak demikian.
Saat
itu, saya memutuskan untuk ikut mengantar dan menjemput bersama ojek. Tentu
saja bayi diajak.
Bagaimana
tangisannya bisa hilang? Itu terjadi setelah ada pengumuman ekstrakurikuler
akan dimulai. Saya pun mengatakan bahwa untuk bisa ikut kegiatan tersebut,
syaratnya sekolah sudah tidak menangis dan mau ditinggal sendiri. Dia setuju.
Kegiatan sekolahnya aman sampai kelas 6.
Sesaat
sebelum kelulusan, Hilman berkata bahwa dia mantap ingin melanjutkan ke
pesantren. Saya bahagia sekali, dia mau tanpa dipaksa. Untuk mengantisipasi
kesedihan ditinggal di asrama nantinya, persiapan sudah dilakukan jauh hari
untuk memantapkan niatnya.
Alhamdulillah,
meski harus pulang sebelum waktunya karena adanya Pandemi Corona, Hilman melewati
masa adaptasi dengan lingkungan baru dengan baik.
*****
Kisah
anak yang tiba-tiba mogok sekolah di awal masuk mungkin dialami beberapa Temans
di sini. Sedih, bingung, dan marah berbaur menjadi satu saat peristiwa terjadi.
Bagaimana
tidak? “Kok, anak saya nggak mau
sekolah? Padahal itu penting untuk masa depannya.”
Di
sisi lain, “Memalukan sekali rasanya, anak saya menangis meraung ketika diajak
ke kelas. Anak lain gembira.”
“Anak
saya menangis sambil memukuli gurunya. Aduh, jadi nggak enak!”
Temans,
tidak perlu khawatir! Ada kok cara mengatasinya. Mudah, hanya perlu ketegasan
dari guru di sekolah dan Temans sebagai orang tua.
Berdasarkan pengalaman dan rangkuman dari berbagai buku, ini cara mengatasi anak yang mengamuk saat awal masuk sekolah
- Mengenali Penyebabnya
Anak
mungkin saja mogok sekolah karena merasa tidak punya teman, takut dengan guru
atau temannya, tidak dijemput tepat waktu, dan sebagainya.
Agar
dapat mengenali penyebabnya, Temans dapat merunut waktu sekolah dan apa saja
yang terjadi. Jika memungkinkan, mintalah anak untuk bercerita.
Dengan
mengenali sebabnya, mogok sekolah dapat diatasi lebih cepat dan tuntas.
Seandainya
anak mogok karena takut teman, katakan bahwa guru di sekolah akan membantu.
Namun,
jika anak bermasalah karena Temans terlambat menjemput, itu artinya anak
khawatir ditinggal. Yakinkan dirinya bahwa Temans tidak akan pernah
meninggalkannya sendiri di sekolah.
Bagaimana
dengan guru?
Umumnya guru anak pra sekolah atau usia kelas 1 SD sangat sabar. Jangan takuti anak dengan kata-kata, seperti “jika kamu terlambat ibu guru marah” atau “kamu harus baik di sekolah kalau tidak ibu guru akan menyetrap”, dan sebagainya.
- Mengajak Guru untuk Bekerja Sama
Setelah
mengetahui sebabnya, ajaklah guru di sekolah untuk bekerja sama.
Temans
dapat meninggalkan anak di sekolah dengan meyakinkan diri bahwa mereka diasuh
oleh guru yang baik. Ketakutan kepada teman dan masalah lain dapat diatasi
bersama. In sya Allah, seiring dengan waktu mogoknya akah hilang.
- Memberi Dukungan pada Anak
Jangan
lupa, beri dukungan pada anak!
Beri
mereka pelukan ketika akan ditinggalkan di sekolah! Jangan marah saat mereka
berkata tidak mau bersekolah lagi!
Dukungan dari orang tua penting agar mereka merasa dihargai sampai akhirnya masalah dapat diatasi.
- Meningkatkan Kecerdasan Emosional
Kemungkinan
paling besar ketika anak mogok sekolah adalah sedikit lebih lambat dalam
beradaptasi. Dia tidak biasa dan takut dengan orang-orang baru di sekitar.
Ini
dapat diatasi jika kecerdasan emosionalnya terasah. Untuk ulasan ini dapat
Temans lihat di tulisan tentang “Mama, Aku Ingin Pindah Sekolah”.
Anak
yang cerdas secara emosi, meski usianya muda, dia akan bisa mengatasi semua
masalahnya sendiri. Tentu saja dengan dukungan orang tua dan lingkungan.
Itulah
5 cara mengatasi anak yang mogok sekolah di awal masuk!
Sebagai
langkah awal, Temans dapat sering mengajaknya bersosialisasi sejak dini.
Sosialisasi dapat membuat anak lebih mudah beradaptasi di masa prasekolah.
Mereka sudah paham, bahwa tidak semua temannya baik. Di antara mereka ada yang
jahil atau suka memukul tetapi Temans selalu ada untuk mendukung mereka.
Sosialisasi
juga bagian dari meningkatkan kecerdasan emosional.
Minggu, 14 Juni 2020
Ketika Anak Bermasalah dengan Guru
“Orang
beradab sudah pasti berilmu tetapi orang yang mempunyai ilmu belum tentu
beradab.”
Perkenalkan, saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai 6 orang anak. Temans atau siapapun yang kenal dekat dengan keluarga, kebanyakan bilang bahwa semua anak saya penurut. Jadi, buat mereka yang melihatnya sangat mudah mendidik dan mengasuh anak-anak-anak tersebut.
Itu kata orang. Bagaimana dengan saya yang
menjalaninya? Tentunya tidak semudah perkataan orang atau saya menulis saat
ini. Anak-anak ada masa sulitnya. Termasuk ketika mereka berhadapan dengan
guru.
Anak kedua saya, Mukhtara Rama Affanndi, kini sudah
berusia 22 tahun. Rama nama panggilannya. Sejak usia sekolah dasar sudah terlihat
sedikit keras kepala.
Lebih dari 10 tahun lalu, seorang murid bimbingan
les berkata, “ Ummi, tahu nggak? Rama
tadi dipukul oleh Pak Didi (nama disamarkan).”
“Oh, kenapa?”
“Katanya, murid kelas 5 sedang berantem dengan Pak Didi, Mi. Setiap Rama lewat pasti dipukul.”
Saya hanya mendengarkan saja. Rama jarang bercerita
tentang kesulitan yang dianggapnya masih bisa ditangani di sekolah. Masa itu,
belum ada grup WA orang tua, he – he..
Malamnya saya bertanya pada Rama tentang peristiwa
tersebut.
“Iya, Mi. Tapi nggak
sakit kok karena Rama menghindar.”
“Bukan soal sakitnya. Kenapa?
“Awalnya tentang pelajaran. Apa yang Pak Didi
ajarkan berbeda dengan yang tertulis di buku paket Rama. Pak Didi ngotot kalau
itu benar. Terus, Rama cocokin dengan buku paket IPA lain milik teman, ternyata
Pak Didi tetap salah. Terus, sejak itu Pak Didi nyuruh Rama keluar ketika
pelajarannya.”
Saya menarik napas dalam. Masa itu memang tahun
dimana sekolah tidak boleh menjual buku paket atau menunjuk buku terbitan
tertentu. Jadi, dalam satu kelas buku
yang dipegang berbeda-beda. Harus diakui, mestinya semua buku intinya sama,
apalagi pelajaran IPA yang ilmu pasti.
“Sudah 2 minggu Rama nggak ikut pelajaran IPA.
Masalahnya, di awal hanya 3 orang yang diminta keluar kelas. Minggu ini hampir
semua murid ikut keluar.”
“Ya sudah. Besok Ummi ke sekolah. Kamu harus ingat,
Pak Didi seorang guru. Beliau bisa saja salah dalam mengajar tetapi murid tidak
boleh berlaku tidak baik.”
“Iya, Ummi.”
Keesokan harinya, kedatangan saya ke sekolah sudah
ditunggu wali kelas. Namun, Pak Didi hanya memandang saja dari jauh.
Dalam pertemuan, saya sepakat untuk mengingatkan
Rama untuk meminta maaf. Mengenai perdebatan tentang sesuatu yang salah dalam
pelajaran biarlah menjadi urusan kepala sekolah dan wali kelas.
Tidak menunggu lama. Rama melaporkan sepulang
sekolah kalau dia sudah menghadap kepala sekolah.
“Sedih Mi, dinasehati Pak Irwan. Tapi, Pak Didi
tetap tidak mau mengakui kesalahannya dan minta maaf.”
“Ya sudah. Yang penting kamu yang minta maaf. Soal
pelajaran, itu nanti diperbaiki kepala sekolah dan wali kelas.”
“Pak Didi, beliau guru kamu. Lain kali tegurlah
dengan cara baik jika ada kesalahan. Misalnya, dengan datang ke kantor.”
“Iya, Mi.”
Pak Didi masih mengajar di sekolah sampai satu bulan
kemudian. Saya dengar dia diminta mengundurkan diri karena masalah dengan
siswa-siswa kelasnya.
Beberapa bulan yang lalu, ketika Rama mengisi stand
up comedy dalam satu acara dia bertemu dengan Pak Didi. Mereka sempat berbicara
banyak tentang banyak hal.
“Rama cium tangannya, Ummi. Terus, bilang maaf lahir
dan batin.”
Alhamdulillah…
*****
Ketika buah hati Temans bersekolah, mungkin kisah
mirip di atas pernah terjadi. Kisah kenakalan anak-anak atau murni kesalahan
guru. Saya mengangkat hal di atas dari dua sisi, sebagai orang tua dan sebagai
guru.
Mengapa?
Saya tahu benar, siswa zaman sekarang tidak sama
dengan dahulu. Mereka jauh lebih terbuka dan blak-blakan dalam berbicara. Suka dan tidak suka diucapkan tanpa
memperhatikan lawan bicara.
Beberapa siswa privat saya bahkan menganggap guru
yang datang layaknya pembantu dalam pelajaran sekolah. Guru yang datang ke
rumah dan digaji oleh orang tua. He he.. Itu sebabnya beberapa tahun belakangan
saya tidak lagi menerima permintaan privat belajar dari murid-murid.
Bukan tidak mau mendidik tetapi lebih menjaga hati. Saya
lebih suka mengajar siswa bimbingan belajar dalam jumlah 3 sampai 7 orang dalam
satu kelompok. Dalam kelompok, siswa lebih mudah diarahkan. Saya juga lebih
mudah memasukkan nilai-nilai moral ketika mengajar.
Kembali kepada kisah di atas, saya ingin menegaskan
bahwa dalam belajar atau mencari ilmu, adab dan akhlak harus diutamakan.
Di sini peran orang tua bermain. Di sekolah
kebanyakan tidak mengajarkan adab dan akhlak secara sempurna. Orang tua yang
harus mengingatkan. Sekolah zaman now,
lebih mengutamakan ilmu, hafalan, dan materi.
Contoh kecil, orang tua menunjukkan rasa menghormati
guru les yang datang ke rumah sebagai tamu. Anak akan melakukan hal yang sama
pula.
Jangan menggerutu tentang guru di depan anak. Anak
akan ikut tidak menghargainya.
Orang tua tidak lagi menyalahkan guru dalam setiap
masalah. Jika guru memang salah, tentu ada cara baik pula untuk
menyelesaikannya.
Berdasarkan pengalaman, siswa yang pintar tetapi
mempunyai akhlak baik belum tentu memperoleh prestasi bagus. Namun, siswa yang santun
dan berakhlak baik sering kali mendapat hasil yang tidak terduga.
Tentang adab dan ilmu dalam Islam ini sudah serinh
dibahas dalam berbagai buku parenting.
Para Imam dan ulama zaman dahulu dikisahkan
mempelajari adab lebih banyak dan lama dibandingkan ilmunya.
Adab ini merupakan akhlak dalam kehidupan
sehati-hari, sebagaimana sabda Rasulullah yang terkenal, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Dikisahkan, Iman Syafi’i yang akan menimba ilmu
kepada Imam Malik. Sebelum datang ke Imam Malik, sang ibu memintanya untuk
belajar adab Syaikh Rabi’ah.
Di kisah lain, Abdurrahman bin Al Qasim belajar
kepada Imam Malik selama 20 tahun. Selama itu, beliau hanya 2 tahun terakhir
beliau belajar ilmu. Selebihnya adalah pelajaran adab.
Apa saja yang termasuk contoh adab kepada guru dalam
Islam? Beberapa di antaranya adalah datang ke majelis ilmu sebelum guru datang,
berpakaian baik dan sopan, dan mengulang semua pelajaran yang telah diberikan.”
Adab perlu didahulukan daripada ilmu. Pertama, karena adab adalah sunnah Nabi
Muhammad SAW. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas bahwa beliau
diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.
Kedua,
adab membuat anak menjadi orang baik tanpa disadari. Anak jujur, mandiri,
bertanggung jawab karena mempelajarinya. Ini akan menjadi bekal di kehidupannya
di masa yang akan datang. Kehidupan sosial akan lebih mudah dijalani.
Ketiga,
dengan adab seseorang akan berilmu. Bayangkan saja jika seseorang menerapkan
aadab terhadap guru saja, tanpa disuruh dia akan rajin belajar. Tentu saja
hasilnya adalah prestasi yang bagus. Apalagi jika anak melaksanakan adab-adab
lain yang dipelajarinya.
So, Temans itulah sedikit kisah pribadi tentang
salah seorang anak saya. Yuk, kita bersama membangun adab dari rumah agar
Indonesia terhindar dari degradasi moral dan menjadi negara maju bermartabat!
Sabtu, 13 Juni 2020
Aku Ingin Pindah Sekolah!
Kisah 1
Seorang anak remaja
pulang sekolah sambil cemberut.
“Kenapa, sayang?” Mama
yang sedang duduk melihat gadgetnya bertanya.
“Pindah sekolah ya Ma?”
“Lho, kan baru sebulan?”
“Di sana aku nggak ada temannya. Mama sih, padahal
aku mau sekolah di SMAN 10 kemarin. Banyak temanku di sana.”
“Yah, ini demi kebaikan
kamu. Sekolah sekarang lebih mudah akses transportasinya. Kamu juga yang bilang nggak mau sekolah jauh.”
“Di sana nggak enak ternyata Mah. Gurunya juga nggak menyenangkan.”
“Oke, begini saja. Kamu
tunggu saja sampai sebulan lagi.”
Alhamdulillah, bahkan sampai
satu tahun berlalu sang anak tidak pernah lagi meminta pindah sekolah. Mama
juga dengan sengaja tidak pernah mengungkitnya lagi.
Kisah 2
“Ummi, aku mau kuliah di
sini. Tempatnya daerah Serpong. Lulusannya bisa ke Jerman.”
Ummi menarik napas. Anak
pertamanya ini memang ingin sekali berkuliah ke Jerman atau Jepang. Namun, suaminya
tidak setuju. Alasannya, ananda belum siap hidup mandiri. Sholat saja belum
bisa memulai tanpa disuruh.
Pernah seorang gurunya
menyarankan ananda untuk shalat 5 waktu tanpa disuruh sebelum lulus SMA.
Buktikan pada ayahnya jika dia dapat hidup mandiri tetapi tidak dilaksanakan.
Akhirnya kedua orang tua
menyetujui kuliah pilihan sang anak di sebuah kampus elite daerah pinggiran
Jakarta.
Di sana, dia hanya
bertahan satu semester. Setelah itu, ananda terlihat jarang kuliah.
“Nak, mengapa ummi lihat
kamu jarang berangkat kuliah? Nggak mungkin bukan libur semesternya lebih dari
3 bulan?”
Ananda yang lebih banyak
di kamar keluar mendengar ummi menegur.
“Iya, Ummi. Aku berhenti
kuliah di sana saja ya? Nggak apa deh ulang lagi semester 1 di tahun ajaran
baru.”
“Mengapa?”
“Di sana ada yang suka
bully, Mi. Ada anak perempuan dan gengnya yang suka seenaknya pada orang lain.”
“Kamu bisa melawan bukan?
Minimal cuek aja. Nggak usah diladeni. Kamu laki-laki.”
“Tapi jadi nggak nyaman Ummi. Lagian masa berantem sama
perempuan.”
“Ya sudah. Coba bicara
saja dengan ayah.”
Akhirnya Ananda pindah
kuliah dan mengulang kembali ke semester 1.
Ananda baru kuliah tetap
saat kepindahan kedua. Kepindahannya kedua dilakukan dengan alasan, dosen yang
mengajar sepertinya tidak kompeten. Dosen bahasa Inggrisnya saja, bahasanya pas-pasan.
Kepindahan ketiga,
Alhamdulillah Ananda berkuliah di Yogyakarta. Di sana dia bersama sang adik
yang menyusul kuliah di semester 1 meski tidak satu kampus.
*****
Di atas saya hanya
menuliskan dua kisah tentang permintaan anak pindah sekolah dan pindah kuliah. Kedua-duanya berhasil dilalui dengan baik.
Di kisah lain ada anak
yang pada akhirnya berhenti kuliah karena tidak dapat beradaptasi dan orang tua
tidak dapat membiayai kepindahannya. Padahal selama sekolah, ananda cukup
pandai dan selalu rangking kelas ketika sekolah dasar.
Alasan Orang Tua Tidak Mengijinkan Anak Pindah Sekolah
Ketika anak meminta
pindah sekolah (termasuk kuliah), sebagian besar karena ketidaknyamanan. Baik
karena tidak mempunyai teman, guru atau dosen galak atau tidak sesuai harapan,
dan tempat yang tidak bagus. Cara dikisah pertama cukup bagus. Orang tua
berjanji akan mempertimbangkan kembali pindah sekolah setelah 1 bulan.
Pada dasarnya, semua
intinya adalah adaptasi. Anak-anak rata meminta pindah ketika sekolah atau
kuliah baru berjalan kurang dari 6 bulan. Jarang sekali yang meminta berhenti
dan pindah setelah 1 tahun. Bahkan, ketika orang tua harus pindah tugas ke luar
kota anak yang enggan. Mereka sudah merasa sudah cocok dengan lingkungan
barunya.
Oleh karena itu, beberapa
pakar pendidikan anak menyarankan agar orang tua tidak segera mengiyakan atau
mengijinkan ketika anak ingin pindah sekolah. Beberapa alasan yang banyak
dikemukakan adalah sebagai berikut.
1. Anak Harus Belajar Menyelesaikan
Masalahnya Sendiri
Temans,
masalah seperti yang dikemukakan di atas biasanya baru terjadi ketika anak
menginjak usia sekolah menengah.
Ini terjadi
karena di masa itu, rata-rata anak baru dilepaskan mandiri oleh orang tua.
Sebelumnya, mereka diantar jemput, ada grup WA orang tua yang intens, dan
lain-lain. Orang tua menyelesaikan semua masalah anaknya, baik dengan teman
atau guru.
Contoh kecil,
ketika anak tertinggal tugas sekolah orang tua langsung mengantarkan tugasnya
ke sekolah. Hal yang tidak berlaku ketika usia remaja. Orang tua sudah tidak
lagi tahu yang terjadi di sekolah. Siswa lebih banyak. Ikatan antar orang tua
berkurang.
Saat
ketinggalan tugas di rumah, anak harus menanggung akibatnya, ditegur oleh guru.
Biarkanlah
seperti itu! Anak harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri dan mencari
solusi agar tidak terulang lagi. Tugas Temans hanya mengingatkan, mendengarkan
anak bercerita, dan memberi nasihat berupa solusi, bukan dalam tindakan.
2. Anak Harus Belajar Menghargai
Setiap Keputusan
Zaman
sekarang sudah jarang sekali orang tua yang memutuskan sekolah anak sendiri.
Umumnya anak ikut terlibat. Sebagian lagi anak memilih sendiri. Minimal anak tahu pilihan orang tuanya.
Jadi, sekolah
adalah keputusan bersama. Dengan demikian, anak tidak dapat melanggar begitu
saja keputusan tersebut.
Anak belajar
bahwa setiap keputusan ada resiko yang harus diterima. Tidak ada keputusan yang
sepenuhnya menyenangkan.
3. Anak Harus Belajar Berpikir
Sebelum Bertindak
Orang tua
tidak harus langsung mengiyakan ketika anak
ingin pindah sekolah.
Ajarkan
mereka berpikir sebelum bertindak! Berilah mereka konsekuensi kepindahan!
Misalnya,
uang saku dipotong karena pindah berarti biaya tambahan, harus kembali ke kelas
awal jika pindah dari pesantren, dan di sekolah baru belum tentu akan
mendapatkan suasana yang diinginkan.
4. Anak Belajar Menerima Kondisi
Lingkungannya
Suasana
sekolah; siswa, guru, dan tempat baru pasti akan berbeda dengan sebelumnya.
Apalagi jika sebelumnya anak belajar di sekolah swasta favorit dan pindah ke
sekolah lanjutan negeri, apapun alasannya.
Sekolah
lanjutan umumnya mempunyai siswa lebih banyak. Mereka dari berbagai golongan.
Sekolah negeri juga belum tentu mempunyai fasilitas sebagus sekolah swasta.
Ajarkan anak
untuk menerima kondisi lingkungannya dan berempati. Ini bagus untuk melatih
rasa sosial.
5. Anak Dididik Bertanggung Jawab
Terakhir,
anak dididik untuk bertanggung jawab dengan pilihan dan semua yang
dilakukannya.
Bertanggung
jawab jika sekolah dia yang memilih. Bertanggung jawab karena bukan salah guru
jika ditegur karena tidak membwa tugas, dan seterusnya.
Lalu kapan orang tua mengijinkankan
anak pindah sekolah? Apa pertimbangannya?
Jika suatu saat anak
Temans bercerita bahwa dirinya dibully dan tidak dapat ditolerir lagi, bisa
menjadi alasan utama.
Dalam kasus ini mungkin
saja pihak sekolah menyelesaikan masalah yang ada. Namun, bagi beberapa anak
persaaan tidak nyaman dapat timbul. Mungkin saja dia tetap bersikeras pindah
sekolah.
Namun, harus diingat
bahwa untuk masalah ini orang tua dan lingkungan sekitar harus berusaha
meningkatkan kepercayaan diri anak agar kejadian bully tidak terulang kembali.
Akhir kata, sekolah
merupakan miniatur kehidupan nyata.
Bukan sekadar untuk memperoleh ijazah atau prestasi tertentu. Di sini menjadi
tempat pertama anak bersosialisasi dengan lingkungan lebih besar. Jika anak
berhasil melewatinya dengan baik. insyaAllah di kehidupan selanjutnya anak
dapat lebih mampu menghadapi ujiannya.