“Orang
beradab sudah pasti berilmu tetapi orang yang mempunyai ilmu belum tentu
beradab.”
Perkenalkan, saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai 6 orang anak. Temans atau siapapun yang kenal dekat dengan keluarga, kebanyakan bilang bahwa semua anak saya penurut. Jadi, buat mereka yang melihatnya sangat mudah mendidik dan mengasuh anak-anak-anak tersebut.
Itu kata orang. Bagaimana dengan saya yang
menjalaninya? Tentunya tidak semudah perkataan orang atau saya menulis saat
ini. Anak-anak ada masa sulitnya. Termasuk ketika mereka berhadapan dengan
guru.
Anak kedua saya, Mukhtara Rama Affanndi, kini sudah
berusia 22 tahun. Rama nama panggilannya. Sejak usia sekolah dasar sudah terlihat
sedikit keras kepala.
Lebih dari 10 tahun lalu, seorang murid bimbingan
les berkata, “ Ummi, tahu nggak? Rama
tadi dipukul oleh Pak Didi (nama disamarkan).”
“Oh, kenapa?”
“Katanya, murid kelas 5 sedang berantem dengan Pak Didi, Mi. Setiap Rama lewat pasti dipukul.”
Saya hanya mendengarkan saja. Rama jarang bercerita
tentang kesulitan yang dianggapnya masih bisa ditangani di sekolah. Masa itu,
belum ada grup WA orang tua, he – he..
Malamnya saya bertanya pada Rama tentang peristiwa
tersebut.
“Iya, Mi. Tapi nggak
sakit kok karena Rama menghindar.”
“Bukan soal sakitnya. Kenapa?
“Awalnya tentang pelajaran. Apa yang Pak Didi
ajarkan berbeda dengan yang tertulis di buku paket Rama. Pak Didi ngotot kalau
itu benar. Terus, Rama cocokin dengan buku paket IPA lain milik teman, ternyata
Pak Didi tetap salah. Terus, sejak itu Pak Didi nyuruh Rama keluar ketika
pelajarannya.”
Saya menarik napas dalam. Masa itu memang tahun
dimana sekolah tidak boleh menjual buku paket atau menunjuk buku terbitan
tertentu. Jadi, dalam satu kelas buku
yang dipegang berbeda-beda. Harus diakui, mestinya semua buku intinya sama,
apalagi pelajaran IPA yang ilmu pasti.
“Sudah 2 minggu Rama nggak ikut pelajaran IPA.
Masalahnya, di awal hanya 3 orang yang diminta keluar kelas. Minggu ini hampir
semua murid ikut keluar.”
“Ya sudah. Besok Ummi ke sekolah. Kamu harus ingat,
Pak Didi seorang guru. Beliau bisa saja salah dalam mengajar tetapi murid tidak
boleh berlaku tidak baik.”
“Iya, Ummi.”
Keesokan harinya, kedatangan saya ke sekolah sudah
ditunggu wali kelas. Namun, Pak Didi hanya memandang saja dari jauh.
Dalam pertemuan, saya sepakat untuk mengingatkan
Rama untuk meminta maaf. Mengenai perdebatan tentang sesuatu yang salah dalam
pelajaran biarlah menjadi urusan kepala sekolah dan wali kelas.
Tidak menunggu lama. Rama melaporkan sepulang
sekolah kalau dia sudah menghadap kepala sekolah.
“Sedih Mi, dinasehati Pak Irwan. Tapi, Pak Didi
tetap tidak mau mengakui kesalahannya dan minta maaf.”
“Ya sudah. Yang penting kamu yang minta maaf. Soal
pelajaran, itu nanti diperbaiki kepala sekolah dan wali kelas.”
“Pak Didi, beliau guru kamu. Lain kali tegurlah
dengan cara baik jika ada kesalahan. Misalnya, dengan datang ke kantor.”
“Iya, Mi.”
Pak Didi masih mengajar di sekolah sampai satu bulan
kemudian. Saya dengar dia diminta mengundurkan diri karena masalah dengan
siswa-siswa kelasnya.
Beberapa bulan yang lalu, ketika Rama mengisi stand
up comedy dalam satu acara dia bertemu dengan Pak Didi. Mereka sempat berbicara
banyak tentang banyak hal.
“Rama cium tangannya, Ummi. Terus, bilang maaf lahir
dan batin.”
Alhamdulillah…
*****
Ketika buah hati Temans bersekolah, mungkin kisah
mirip di atas pernah terjadi. Kisah kenakalan anak-anak atau murni kesalahan
guru. Saya mengangkat hal di atas dari dua sisi, sebagai orang tua dan sebagai
guru.
Mengapa?
Saya tahu benar, siswa zaman sekarang tidak sama
dengan dahulu. Mereka jauh lebih terbuka dan blak-blakan dalam berbicara. Suka dan tidak suka diucapkan tanpa
memperhatikan lawan bicara.
Beberapa siswa privat saya bahkan menganggap guru
yang datang layaknya pembantu dalam pelajaran sekolah. Guru yang datang ke
rumah dan digaji oleh orang tua. He he.. Itu sebabnya beberapa tahun belakangan
saya tidak lagi menerima permintaan privat belajar dari murid-murid.
Bukan tidak mau mendidik tetapi lebih menjaga hati. Saya
lebih suka mengajar siswa bimbingan belajar dalam jumlah 3 sampai 7 orang dalam
satu kelompok. Dalam kelompok, siswa lebih mudah diarahkan. Saya juga lebih
mudah memasukkan nilai-nilai moral ketika mengajar.
Kembali kepada kisah di atas, saya ingin menegaskan
bahwa dalam belajar atau mencari ilmu, adab dan akhlak harus diutamakan.
Di sini peran orang tua bermain. Di sekolah
kebanyakan tidak mengajarkan adab dan akhlak secara sempurna. Orang tua yang
harus mengingatkan. Sekolah zaman now,
lebih mengutamakan ilmu, hafalan, dan materi.
Contoh kecil, orang tua menunjukkan rasa menghormati
guru les yang datang ke rumah sebagai tamu. Anak akan melakukan hal yang sama
pula.
Jangan menggerutu tentang guru di depan anak. Anak
akan ikut tidak menghargainya.
Orang tua tidak lagi menyalahkan guru dalam setiap
masalah. Jika guru memang salah, tentu ada cara baik pula untuk
menyelesaikannya.
Berdasarkan pengalaman, siswa yang pintar tetapi
mempunyai akhlak baik belum tentu memperoleh prestasi bagus. Namun, siswa yang santun
dan berakhlak baik sering kali mendapat hasil yang tidak terduga.
Tentang adab dan ilmu dalam Islam ini sudah serinh
dibahas dalam berbagai buku parenting.
Para Imam dan ulama zaman dahulu dikisahkan
mempelajari adab lebih banyak dan lama dibandingkan ilmunya.
Adab ini merupakan akhlak dalam kehidupan
sehati-hari, sebagaimana sabda Rasulullah yang terkenal, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Dikisahkan, Iman Syafi’i yang akan menimba ilmu
kepada Imam Malik. Sebelum datang ke Imam Malik, sang ibu memintanya untuk
belajar adab Syaikh Rabi’ah.
Di kisah lain, Abdurrahman bin Al Qasim belajar
kepada Imam Malik selama 20 tahun. Selama itu, beliau hanya 2 tahun terakhir
beliau belajar ilmu. Selebihnya adalah pelajaran adab.
Apa saja yang termasuk contoh adab kepada guru dalam
Islam? Beberapa di antaranya adalah datang ke majelis ilmu sebelum guru datang,
berpakaian baik dan sopan, dan mengulang semua pelajaran yang telah diberikan.”
Adab perlu didahulukan daripada ilmu. Pertama, karena adab adalah sunnah Nabi
Muhammad SAW. Sesuai dengan hadis yang sudah disebutkan di atas bahwa beliau
diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.
Kedua,
adab membuat anak menjadi orang baik tanpa disadari. Anak jujur, mandiri,
bertanggung jawab karena mempelajarinya. Ini akan menjadi bekal di kehidupannya
di masa yang akan datang. Kehidupan sosial akan lebih mudah dijalani.
Ketiga,
dengan adab seseorang akan berilmu. Bayangkan saja jika seseorang menerapkan
aadab terhadap guru saja, tanpa disuruh dia akan rajin belajar. Tentu saja
hasilnya adalah prestasi yang bagus. Apalagi jika anak melaksanakan adab-adab
lain yang dipelajarinya.
So, Temans itulah sedikit kisah pribadi tentang
salah seorang anak saya. Yuk, kita bersama membangun adab dari rumah agar
Indonesia terhindar dari degradasi moral dan menjadi negara maju bermartabat!
Ma syaa Allah tulisan yang menginspirasi saya dan tentunya pembaca lainnya, lanjuut bundaa :)
BalasHapusAlhamdulillah Ummi. Terima kasih semangatnya
HapusIzin urun pendapatnya ya Mbak Nani...Alhamdulillah sudah bagus dan menarik kok ini kalau mau dibukukan. Cuma menurut saya untuk lebih bagusnya lg karena ini bertemakan pendidikan anak cara Islam (tentang adab), baiknya disertakan juga dalil naqli dan aqlinya.
BalasHapusTerima kasih masukkannya Mbak.. In sya Allah sarannya bermanfaat.
HapusHadeuh, sbnrnya geram ya kalau ada guru yg begitu. Saya juga pernah punya pengalaman yg sama. Sy gak ribut dituduh ribut. Trus sy ditanya, ternyata saya bisa jawab. Ya udah begitu aja. Gurunya malu sendiri kali tapi jojong sok jalan terus. Sedihnya beliau guru agama
BalasHapusSeharusnya sih, anak tetap harus menghormati dan guru juga mau mengakui kesalahan jika bersalah.
Hapus